Nusavoxmedia.id – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengguncang publik dengan menyita Rp 11,8 triliun dari Wilmar Group pada 17 Juni 2025, dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) yang disebut sebagai salah satu penyitaan terbesar dalam sejarah Indonesia. Skandal ini berakar dari krisis minyak goreng 2021-2022, ketika harga melonjak dan stok menipis di pasar domestik.
Kronologi Skandal: Korupsi Ekspor CPO
Pada 17 Juni 2025, Kejagung mengumumkan penyitaan Rp 11,8 triliun (setara US$725 juta) dari lima anak perusahaan Wilmar Group yaitu Wilmar Bioenergi Indonesia, Wilmar Nabati Indonesia, Multimas Nabati Asahan, Multi Nabati Sulawesi, dan Sinar Alam Permai. Juru bicara Kejagung, Harli Siregar, menyatakan dana ini merupakan bagian dari upaya memulihkan kerugian negara akibat korupsi dalam penerbitan izin ekspor CPO antara Januari dan April 2022.
Skandal bermula dari krisis minyak goreng 2021, ketika harga domestik meroket hingga Rp 20.000 per liter yang memicu kelangkaan. Pemerintah mewajibkan perusahaan sawit memenuhi domestic market obligation (DMO) sebesar 20% untuk pasar lokal sebelum mengekspor CPO. Namun, Wilmar Group, bersama dua perusahaan lain yaitu Musim Mas dan Permata Hijau diduga membayar suap untuk mendapatkan izin ekspor tanpa memenuhi DMO, menurut Reuters. Akibatnya, pasokan minyak goreng domestik terganggu, memperparah krisis.
Penyitaan Kejagung: Rp 11,8 Triliun dan Proses Hukum
Penyitaan Rp 11,8 triliun dilakukan setelah audit Kejagung mengungkap kerugian negara dari keuntungan ilegal Wilmar. Dana ini diserahkan Wilmar akhir Mei 2025 kemarin sebagai kompensasi. “Wilmar telah membayar kerugian negara yang ditimbulkan,” ujar pejabat senior Kejagung, Sutikno, dalam konferensi pers yang menampilkan tumpukan uang Rp 2 triliun sebagai simbol.
Meski demikian, kasus ini masih bergulir di Mahkamah Agung (MA). Pada Maret 2025 kemarin, pengadilan tingkat pertama membebaskan Wilmar, Musim Mas, dan Permata Hijau dari tuduhan kriminal, dengan alasan tindakan mereka tidak memenuhi unsur pidana, meski melanggar regulasi. Wilmar juga dihukum denda Rp 1 miliar di samping kompensasi Rp 11,8 triliun. Kejagung mengajukan banding, dan MA kini meninjau putusan tersebut. Jika MA memihak Kejagung, dana sitaan bisa disita permanen. Jika tidak, dana akan dikembalikan, menurut pernyataan dari Wilmar.
Skandal Suap: Hakim dan Pegawai Wilmar Terseret
Kasus ini semakin rumit dengan penangkapan tiga hakim yaitu Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, Djuyamto, pada April 2025. Mereka diduga menerima suap Rp 22 miliar dari total Rp 60 miliar untuk membebaskan Wilmar dan dua perusahaan lain. Dua pengacara dan seorang pegawai Wilmar juga ditahan, memperluas jaringan korupsi.
Wilmar membantah keterlibatan karyawannya dalam penyidikan awal, tetapi pada 16 April 2025, Kejagung menahan seorang pegawai Wilmar atas tuduhan suap. Wilmar kemudian menyatakan siap membantu penyelidikan. Skandal ini juga melibatkan pejabat Kementerian Perdagangan, yang diduga menerima suap untuk menerbitkan izin ekspor.
Penutup
Penyitaan Rp 11,8 triliun dari Wilmar Group oleh Kejagung menandai babak baru dalam skandal korupsi ekspor CPO, yang mengguncang Indonesia sejak krisis minyak goreng 2021. Dengan proses hukum di MA dan penangkapan hakim, kasus ini mengungkap jaringan korupsi yang kompleks. Harapannya keadilan akan ditegakkan dan kasus korupsi yang belum terdeteksi dapat teratasi dan ditemukan dengan cepat.

