Nusavoxmedia.id – Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terbaru yang mencatat tingkat kemiskinan nasional per Maret 2025 turun menjadi 8,47 persen atau 23,85 juta orang. Angka ini merupakan penurunan 0,1 persen dari September 2024 dan diklaim sebagai yang terendah dalam dua dekade terakhir.
Presiden Prabowo Subianto turut menyinggung capaian tersebut dalam pidatonya pada Minggu (20/7), menyebut penurunan angka kemiskinan dan pengangguran sebagai bukti Indonesia berada di jalur yang tepat. Namun, pengumuman itu menuai pertanyaan publik karena BPS sempat menunda rilis data yang awalnya dijadwalkan pada 15 Juli, dan baru dirilis sepuluh hari kemudian.
Data yang dirilis BPS itu memicu perdebatan luas di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda sejumlah sektor sejak awal tahun. Sejumlah ekonom menilai penurunan angka kemiskinan ini tidak mencerminkan kenyataan sosial-ekonomi di lapangan.
“Data BPS tidak valid karena menggunakan metode lama dan garis kemiskinan yang terlalu rendah,” ujar Bhima Yudhistira dari Celios.
Di sisi lain, meskipun angka nasional menurun, BPS mencatat kemiskinan di perkotaan naik dari 6,66% menjadi 6,73%, atau bertambah 220.000 orang. Sementara itu, kemiskinan di perdesaan turun dari 11,34% menjadi 11,03%, didorong oleh peningkatan tenaga kerja di sektor pertanian dan perdagangan.
Kenaikan harga pangan serta peningkatan pengangguran di kota disebut sebagai penyebab utama lonjakan kemiskinan perkotaan.
Selain itu, beberapa pengamat juga menyoroti BPS masih memakai garis kemiskinan berdasarkan purchasing power parity (PPP) 2017, yakni US$2,15 per kapita per hari (Rp 609.160 per bulan). Sementara Bank Dunia telah merevisi ambang batas kemiskinan ekstrem menjadi US$3 per hari (Rp 1,47 juta/bulan).
Jika menggunakan standar PPP 2021 seperti Bank Dunia, jumlah penduduk miskin di Indonesia diperkirakan mencapai 194 juta jiwa, jauh berbeda dari versi BPS.
BPS juga mencatat penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT) menjadi 4,76 persen, level terendah sejak krisis 1998. Hal ini merujuk pada data yang telah dirilis setelah ditunda dari jadwal semula yaitu 15 Juli.
“Data angka kemiskinan mudah dipolitisasi, karena sering dijadikan tolok ukur keberhasilan,” kata Esther Sri Astuti selaku direktur Indef.
Sementara itu, ekonom Eko Listiyanto menegaskan bahwa penurunan kemiskinan belum tentu menandakan peningkatan kesejahteraan. Kelas menengah dan rentan miskin kini justru mengalami pelemahan daya beli, yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional.

