Jakarta – Forum Purnawirawan TNI membuat usulan untuk memakzulkan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden (Wapres) Indonesia melalui surat resmi kepada MPR pada 17 April 2025. Sebanyak 103 jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel menandatangani surat tersebut, menuntut pergantian Wapres sebagai bagian dari delapan poin pernyataan sikap mereka terhadap kondisi politik terkini. Polemik yang muncul ini mendapat beragam respon, mulai dari dukungan terhadap usulan hingga kritik pedas di tengah dinamika politik nasional.
Pelantikan Wapres Gibran yang terjadi pada 20 Oktober 2024 lalu, mendapat sorotan sejak awal masa jabatannya. Sebagai Wapres termuda dalam sejarah Indonesia pada usia 37 tahun, langkah politiknya kerap menuai kontroversi. Usulan pemakzulan ini menjadi babak baru dalam perjalanan politik putra sulung Presiden ke-7 Joko Widodo tersebut. Namun, apakah usulan ini benar-benar langkah demokratis, atau sekadar drama politik?
Latar Belakang Usulan Pemakzulan Gibran
Forum Purnawirawan TNI mengajukan usulan pemakzulan Gibran pada tanggal 17 April 2025. Usulan itu muncul ketika Ia baru enam bulan dilantik sebagai Wapres. Mereka menilai Gibran tidak pantas menjabat posisi tersebut, dengan alasan yang terdapat dugaan pelanggaran konstitusi selama proses pencalonannya pada Pilpres 2024. Salah satu poin utama adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang membolehkan seseorang di bawah 40 tahun mencalonkan diri sebagai Wapres jika berpengalaman sebagai kepala daerah. Putusan ini terjadi karena Anwar Usman sebagai hakim adalah paman Gibran sehingga memicu tuduhan nepotisme dan pelanggaran etik.
Selain itu, purnawirawan TNI juga menyoroti kontroversi atas akun Kaskus “Fufufafa” yang diduga milik Gibran. Akun kaksus yang aktif antara 2014 hingga 2019 itu berisi komentar kontroversial. Beberapa tokoh termasuk Presiden Prabowo Subianto tidak luput dari cacian, yang kini menjadi mitra politik Gibran. Meskipun Gibran belum memberikan tanggapan resmi, isu ini memperkeruh suasana politik dan memicu spekulasi tentang hubungannya dengan Prabowo.
Respons Beragam dari Tokoh Politik
Jamiluddin Ritonga seorang analis politik dari Universitas Esa Unggul memberikan penilaian bahwa usulan pemakzulan Gibran sebagai ekspresi demokratis yang wajar. “Setiap anak bangsa berhak menyuarakan aspirasi, termasuk terhadap Wapres yang tidak mereka inginkan,” ujar Jamiluddin pada 27 April 2025. Ia mengatakan bahwa selama aspirasi ini disampaikan dalam koridor demokrasi, masyarakat harus menghargainya. Namun, Jamiluddin menolak keras jika pemakzulan dilakukan melalui cara-cara inkonstitusional, seperti kudeta yang berujung pada kekerasan.
Sebaliknya, Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, menanggapi usulan ini kurang tepat. “Tidak ada skandal besar yang menjadi dasar pemakzulan,” kata Paloh pada 26 April 2025, seusai acara di NasDem Tower, Jakarta. Ia menyayangkan langkah para purnawirawan, karena Gibran dan Prabowo merupakan pasangan yang terpilih secara sah melalui Pilpres 2024. Senada dengan Paloh, Ketua MPR Ahmad Muzani menegaskan bahwa Gibran adalah Wapres sah. “Keduanya dipilih bersama sebagai pasangan, dan ketika menang, mereka dilantik bersama,” ujar Muzani pada 25 April 2025 di Senayan, Jakarta.
Penasihat khusus Presiden, Jenderal TNI (Purn) Wiranto, juga angkat bicara. Ia menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto menghormati aspirasi purnawirawan, tetapi akan mempelajari tuntutan ini dengan hati-hati. “Prabowo tidak akan gegabah, karena ini menyangkut masalah fundamental,” kata Wiranto pada 24 April 2025 di Istana Kepresidenan Jakarta. Pendekatan ini menunjukkan sikap Prabowo yang lebih memilih dialog dan stabilitas nasional.
Dasar Hukum Pemakzulan Wapres
Pakar hukum tata negara, Refly Harun, menjelaskan bahwa pemakzulan Wapres memiliki dasar hukum yang jelas. Dalam wawancara pada 11 September 2024, Refly menyebutkan tiga klausul yang dapat menjadi alasan pemakzulan yaitu pertama, melakukan tindak pidana seperti korupsi. Kedua, melakukan perbuatan tercela. Ketiga, tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wapres. “DPR bisa membentuk hak angket untuk memanggil Gibran dan mengusut dugaan pelanggaran,” ujarnya.
Isu akun “Fufufafa” dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela, meskipun kejadiannya terjadi sebelum Gibran menjabat. Namun hingga 29 April 2025, pimpinan MPR belum menindaklanjuti laporan resmi terkait usulan pemakzulan ini. Pengamat politik menilai usulan ini sulit terwujud tanpa dukungan mayoritas di DPR dan bukti kuat yang mendukung salah satu klausul tersebut.
Drama Politik atau Langkah Demokratis?
Polemik pemakzulan Gibran menampilkan dua pandangan utama. Sebagian pihak memandangnya sebagai langkah demokratis yang mencerminkan kebebasan berpendapat. Jamiluddin Ritonga menegaskan bahwa usulan ini sah dalam negara demokrasi. “Masyarakat berhak mengkritik pemimpinnya,” ujarnya pada 27 April 2025. Pandangan ini didukung oleh kontroversi Gibran, mulai dari tuduhan nepotisme hingga kesalahan kecil selama menjabat.
Namun, banyak pihak menilai usulan ini sebagai drama politik. Pengamat politik di X menyebutnya sebagai manuver untuk melemahkan Gibran dan Prabowo. Surya Paloh juga menilai usulan ini tidak memiliki dasar kuat. “Gibran belum terlibat skandal besar,” ujar Paloh pada 26 April 2025. Stabilitas politik pun menjadi pertimbangan utama di tengah tantangan ekonomi yang mendesak.
Tantangan Gibran di Tengah Polemik
Gibran menghadapi pekan berat menjelang akhir April 2025. Ia mengunggah video monolog di YouTube pribadinya, tetapi menuai reaksi negatif publik karena dianggap kurang tepat di tengah situasi politik yang memanas. Hingga 29 April 2025, Gibran belum memberikan pernyataan resmi terkait usulan pemakzulan. Namun, ia tetap menjalankan tugasnya, seperti menghadiri acara resmi, sambil menjaga hubungan dengan Prabowo.
Sejak menjabat, Gibran kerap menjadi sorotan publik. Ia pernah salah menyebut “asam sulfat” yang aslinya “asam folat” pada Desember 2023. Ia juga dituding mempersonalisasi bansos dengan label “Bantuan Wapres Gibran” pada Desember 2024. Polemik pemakzulan ini menjadi ujian terbesar baginya untuk menjaga legitimasi politiknya.
Penutup
Usulan pemakzulan Gibran Rakabuming Raka pada 17 April 2025 mencerminkan dinamika demokrasi yang kompleks di Indonesia. Meskipun sah dalam koridor demokrasi, usulan ini menuai pertanyaan soal urgensi dan dasar hukum. Gibran perlu membuktikan kapasitasnya sebagai Wapres, sembari menjaga stabilitas politik bersama Prabowo.

