Perang Tarif AS-China Mereda: Tarik Ulur Menuju Damai

Nusavoxmedia.id – Perang tarif dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, yang mencapai puncak pada April 2025 kemarin, kini menunjukkan tanda damai. Setelah saling balas tarif impor hingga 145% dari AS dan 125% dari China, kedua negara sepakat memangkas tarif pada 12 Mei 2025, pasca-negosiasi di Jenewa, Swiss. Langkah ini membawa harapan, tetapi dampak konflik masih terasa, termasuk bagi Indonesia. Bagaimana kronologi, penurunan tarif, dan efeknya bagi ekonomi global?

Kronologi Perang Tarif: Eskalasi hingga Negosiasi

Pada 2 April 2025 kemarin, ketegangan terjadi saat Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif resiprokal 10% untuk semua impor, dengan tarif khusus 34% untuk produk China. China membalas pada 4 April dengan tarif 34% untuk barang AS. Eskalasi terjadi ketika Trump menaikkan tarif menjadi 104% pada 8 April, lalu 145% pada 9 April. China membalas dengan menaikkan tarif dari 84% menjadi 125% pada 11 April, melansir dari BBC.  Namun, negosiasi di Jenewa pada 10-12 Mei kemarin membuahkan hasil. AS dan China sepakat memangkas tarif sementara selama 90 hari, seperti dilaporkan Reuters.

Penurunan Tarif Mei 2025: AS 30%, China 10%

Pada 12 Mei kemarin, AS menurunkan tarif impor dari 145% menjadi 30%, sementara China memangkas tarif dari 125% menjadi 10%, menurut CNN Indonesia. Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menyebut hasil ini “lebih baik dari ekspektasi,” menandakan keinginan kedua pihak mencegah pemisahan ekonomi total. Penurunan ini disambut positif oleh pasar global, dengan saham AS dan Eropa menguat, serta nilai tukar dolar AS naik. Namun, kesepakatan 90 hari ini masih sementara, dan ketidakpastian tetap ada.

Dampak Global: Gejolak Pasar dan Resiko Resesi

Perang tarif ini memengaruhi ekonomi global. World Trade Organization (WTO) yang mengatur perdagangan global sejak 1995, memperkirakan perdagangan dunia menyusut 0,2% pada 2025, jauh dari proyeksi awal 3% pada 16 April 2025. Pasar saham global tertekan, termasuk IHSG Indonesia, dengan dana asing keluar Rp35,64 triliun sejak awal tahun, menurut CNBC Indonesia. Harga barang melonjak akibat gangguan rantai pasok, terutama karena ekspor China ke AS senilai US$438 miliar pada 2024 terpukul. AS juga menghadapi inflasi yang meningkat akibat tarif tinggi.

Dampak bagi Indonesia: Tantangan dan Peluang

Indonesia sebagai mitra dagang utama AS dan China menghadapi tantangan. Menurut Kemenperin (2021), Sekitar 70% bahan baku elektronik Indonesia bergantung pada China sehingga gangguan pasok menjadi ancaman. Universitas Airlangga (2022) mencatat kenaikan harga ekspor China memengaruhi harga barang Indonesia, meningkatkan biaya produksi. Namun, ada peluang. Indonesia telah menarik investasi US$14,7 miliar sejak 2019 di sektor semikonduktor, menurut Kemhan RI. Presiden Prabowo Subianto tetap netral, mendorong diplomasi dagang, melansir dari Tempo pada 14 April kemarin.

Penutup

Ekonom menyarankan Indonesia memperkuat pasar domestik dan reformasi logistik. Biaya logistik Indonesia, 23% dari PDB, kalah kompetitif dibandingkan Vietnam (15%), menurut World Bank (2023). Dengan strategi tepat, Indonesia bisa menjadi penghubung produksi regional, memanfaatkan perang tarif untuk diversifikasi ekspor. Langkah damai AS-China membawa harapan, tetapi Indonesia harus waspada terhadap ketidakpastian global sembari menangkap peluang strategis.

Related Articles

2 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kunjungi Media Sosial Kami

440PengikutMengikuti
2,430PelangganBerlangganan

Latest Articles