Nusavoxmedia.id – Jumat pagi, 13 Juni 2025, dunia terhenyak. Ledakan dahsyat mengguncang Teheran, ibu kota Iran, saat jet tempur F-35 Israel melancarkan operasi Rising Lion, menargetkan fasilitas nuklir di Natanz, Isfahan, dan Fordow. Media Iran melaporkan bangunan terbakar, jendela gedung-gedung tinggi pecah, dan sistem pertahanan udara berjuang mencegat serangan. Iran langsung menyatakan keadaan darurat nasional, sementara Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei bersumpah akan membalas dengan “cara yang menyakitkan.” Di Tel Aviv, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebut serangan ini sebagai “langkah pencegahan” terhadap ancaman eksistensial Iran. Konflik terbuka ini, yang telah lama membayang, kini menjadi kenyataan.
Akar Ketegangan yang Memanas Selama Puluhan Tahun
Konflik Israel-Iran bukanlah peristiwa tiba-tiba. Hubungan kedua negara, yang dulu sempat harmonis sebelum Revolusi Islam Iran 1979, telah berubah menjadi permusuhan sengit. Iran tidak mengakui keberadaan Israel, menyebutnya sebagai “tumor kanker” yang harus dihapus. Sebaliknya, Israel memandang Iran sebagai ancaman utama, terutama karena program nuklirnya yang kontroversial. Ketegangan ini diperparah oleh shadow war, perang sembunyi-sembunyi yang melibatkan serangan siber, pembunuhan pejabat tinggi, dan serangan udara terhadap aset masing-masing.
Pemicu langsung konflik terbaru ini dapat ditelusuri ke serangkaian peristiwa pada 2024. Pada 1 Oktober 2024, Iran meluncurkan sekitar 200 rudal balistik ke Tel Aviv sebagai balasan atas serangan Israel di Gaza, Lebanon, dan pembunuhan pejabat Garda Revolusi Iran di Suriah. Meski sebagian besar rudal berhasil dicegat oleh sistem Iron Dome, serangan ini menandai pergeseran dari perang proksi ke konfrontasi langsung. Israel, yang merasa terancam, meningkatkan tekanan dengan menyerang konsulat Iran di Damaskus pada April 2024, memicu kemarahan Teheran. Ketegangan mencapai puncaknya ketika Iran mengklaim memiliki dokumen rahasia program nuklir Israel, sementara laporan IAEA menyebutkan pelanggaran kewajiban non-proliferasi oleh Iran. Bagi Israel, ini adalah sinyal bahaya yang mendorong serangan preventif pada 13 Juni 2025, hari ini.
Faktor eksternal juga memperkeruh situasi. Amerika Serikat, sekutu setia Israel, mengirimkan bantuan militer tambahan, termasuk pesawat pengebom, ke Timur Tengah sejak November 2024. Di sisi lain, Rusia memperkuat Iran dengan jet tempur Su-35 dan sistem pertahanan S-300, sebagai imbalan atas rudal balistik Iran untuk perang di Ukraina. China, dengan kepentingan minyaknya di Iran, turut menyuarakan dukungan retoris. Ketegangan antara blok Barat dan Timur ini menambah bahan bakar pada konflik yang sudah membara.
Serangan Rising Lion: Kronologi Hari yang Mengubah Segalanya
Pada pukul 03.00 waktu Teheran, jet tempur Israel meluncurkan serangan presisi ke fasilitas strategis Iran. Natanz, pusat pengayaan uranium, menjadi target utama, diikuti oleh situs militer di sekitar Teheran. Citra satelit awal menunjukkan kerusakan parah seperti bangunan hangus, infrastruktur hancur, dan kepanikan melanda ibu kota Iran. Meski sistem pertahanan udara Iran berhasil mencegat beberapa rudal, skala serangan ini terlalu besar untuk dihentikan sepenuhnya. Israel mengklaim operasi ini sukses melemahkan kapabilitas nuklir dan rudal Iran, tetapi Teheran menyebutnya sebagai “agresi teroris” dan bersumpah untuk membalas.
Konflik ini bukan hanya pertarungan dua negara. Kelompok proksi Iran, seperti Hizbullah di Lebanon dan Houthi di Yaman, langsung bereaksi. Hizbullah meluncurkan roket ke Israel utara, sementara Houthi menargetkan kapal-kapal di Laut Merah, mengganggu jalur perdagangan global. Ancaman perang regional kini kian nyata, dengan Suriah, Irak, dan negara-negara Teluk berpotensi terseret ke dalam pusaran konflik.
Dampak yang Mengguncang Dunia
Eskalasi ini memiliki konsekuensi jauh melampaui Timur Tengah. Pertama, krisis kemanusiaan memburuk. Sejak perang Israel-Hamas pada Oktober 2023, lebih dari 42.600 orang tewas dan hampir 99.800 luka-luka di Gaza dan Lebanon. Serangan terbaru ini berpotensi memperparah penderitaan, dengan gelombang pengungsi baru dan kerusakan infrastruktur yang masif. Wakil pemimpin Hizbullah memperingatkan bahwa serangan lebih lanjut terhadap warga sipil dapat memicu perang regional yang tak terkendali.
Dampak ekonomi juga sangat signifikan. Iran, sebagai produsen minyak terbesar ketujuh dunia dengan 2,55 juta barel per hari, menghadapi gangguan pasokan akibat serangan Israel. Harga minyak dunia melonjak ke 64 dolar AS per barel, memicu inflasi global sebesar 1,2 persen dan memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia hingga 1 persen. Selat Hormuz, yang mengangkut 20 persen pasokan minyak global, kini terancam oleh ketegangan militer. Gangguan di jalur ini dapat menyebabkan krisis energi global, dengan harga minyak berpotensi mencapai 100 dolar AS per barel.
Bagi Indonesia, dampaknya tak kalah serius. Sebagai negara pengimpor minyak, kenaikan harga BBM dan inflasi menjadi ancaman nyata. Nilai tukar rupiah berisiko melemah hingga Rp17.000 per dolar AS, menekan daya beli masyarakat dan meningkatkan biaya produksi. Ekspor Indonesia ke Timur Tengah, Afrika, dan Eropa juga terancam terganggu, memperlambat pertumbuhan ekonomi ke kisaran 4,6-4,8 persen pada 2025. Pemerintah Indonesia perlu segera memperkuat cadangan energi dan mendorong swasembada pangan untuk mengurangi ketergantungan pada impor.
Secara geopolitik, konflik ini memperdalam perpecahan global. AS dan NATO terus mendukung Israel, sementara Rusia dan China berpihak pada Iran. Risiko perlombaan senjata nuklir meningkat, terutama jika Iran mempercepat program nuklirnya sebagai respons atas serangan Israel. Ketegangan ini juga berpotensi memicu radikalisasi kelompok ekstremis, memperluas ancaman terorisme di berbagai belahan dunia.
Harapan Perdamaian di Tengah Badai
Di tengah eskalasi, dunia berupaya meredam konflik. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan gencatan senjata segera, sementara Indonesia menegaskan posisi netral dan mendorong dialog damai melalui PBB. Namun, dengan sikap keras kedua belah pihak, jalan menuju perdamaian masih panjang. Pakar hubungan internasional, seperti M. Muttaqien dari Universitas Airlangga, menekankan bahwa penyelesaian konflik Palestina-Israel menjadi kunci untuk meredakan ketegangan regional.
Konflik Israel-Iran 2025 hari ini adalah puncak dari permusuhan yang telah berlangsung puluhan tahun. Dipicu oleh rivalitas ideologi, ambisi nuklir, dan agresi militer, perang ini mengancam stabilitas Timur Tengah dan dunia. Tanpa upaya diplomasi yang kuat, dunia mungkin akan menyaksikan krisis yang lebih besar, dengan konsekuensi yang sulit diprediksi.

