Hilirisasi Nikel: Antara Kemakmuran, Kemiskinan, dan Ancaman Lingkungan di Raja Ampat

Nusavoxmedia.id –Raja Ampat, surga biodiversitas laut di Papua Barat, kini berada di ujung tanduk. Dengan 550 jenis terumbu karang dan 1.400 spesies ikan kawasan ini menjadi kebanggaan dunia, bahkan menyandang status UNESCO Global Geopark pada 2023. Namun, karena adanya ambisi hilirisasi nikel, yang digadang-gadang sebagai kunci kemakmuran nasional, justru membawa petaka. Pada 3 Juni 2025 kemarin, aktivis Greenpeace bersama pemuda Papua memprotes keras ekspansi tambang nikel di Raja Ampat, menyoroti kerusakan lingkungan dan kemiskinan yang kian melilit masyarakat lokal. Artikel ini mengupas dampak hilirisasi nikel di Raja Ampat!

Hilirisasi Nikel: Lonjakan Ekonomi dengan Bayaran Mahal

Hilirisasi nikel yang dimulai dengan larangan ekspor bijih nikel pada 2020 melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11/2019, telah menempatkan Indonesia sebagai produsen nikel primer terbesar dunia. Pada tahun 2023, nilai ekspor nikel meningkat dari Rp45 triliun (2015) menjadi Rp520 triliun yang menyumbang pendapatan negara melalui pajak dan PNBP. Perusahaan seperti PT Gag Nikel dan PT Anugerah Surya Pratama  beroperasi di Di Raja Ampat tepatnya Pulau Gag dan Manuran, mengolah nikel untuk baterai kendaraan listrik

Namun, di balik ambisi hilirisasi ini dan meningkatnya ekonomi, hal ini justru menyisakan luka mendalam. Bhima Yudhistira dari CELIOS memproyeksikan keuntungan ekonomi berkurang setelah delapan tahun, tergerus oleh dampak lingkungan, kesehatan, dan hilangnya mata pencaharian nelayan serta petani. ). Di Raja Ampat, aktivitas tambang telah membabat lebih dari 500 hektare hutan, mengancam ekosistem laut yang menjadi tumpuan hidup masyarakat adat.

Kemiskinan: Ironi di Tengah Kekayaan Nikel

Hilirisasi nikel dijanjikan menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan. Namun, di Raja Ampat, kenyataan berkata lain. Ronisel Mambrasar dari Aliansi Jaga Alam Raja Ampat mengungkapkan, “Tambang nikel mengubah kehidupan harmonis kami menjadi konflik.” Masyarakat lokal, yang bergantung pada perikanan dan ekowisata, kehilangan sumber penghidupan akibat pencemaran laut. Auriga Nusantara melaporkan dampak ekonomi lokal tergerus karena nelayan kesulitan menangkap ikan di perairan tercemar.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kemiskinan di wilayah tambang nikel seperti Maluku Utara tetap tinggi, mencapai 6,32% pada Maret 2024, meleset dari target 6,25%. Di Raja Ampat, hilirisasi minim menyerap tenaga kerja lokal karena teknologi intensif modal dan ketergantungan pada pekerja asing, terutama dari China, yang menguasai 80% investasi nikel.

Kerusakan Lingkungan: Raja Ampat dalam Bahaya

Ekosistem Raja Ampat, yang menyumbang 75% spesies karang dunia, terancam oleh limbah tambang. Greenpeace melaporkan tambang nikel di lima pulau termasuk Manyaifun dan Batang Pele mencemari laut dengan lumpur dan logam berat. Hal ini merusak terumbu karang dan biota laut. Penelitian di Pulau Obi, Maluku Utara, menunjukkan kadar nikel di perairan melebihi ambang batas. Ini juga merusak jaringan ikan dan hal ini juga berisiko bagi kesehatan manusia.

PLTU captive berbasis batubara, yang mendukung smelter nikel, memperparah krisis. CREA memprediksi emisi dari smelter dan PLTU di Sulawesi dan Maluku menyebabkan 3.800 kematian pada tahun 2025, dengan beban ekonomi Rp40,7 triliun. Di Raja Ampat, polusi udara dan air mengganggu kesehatan masyarakat, dengan kasus ISPA meningkat di wilayah tambang. Di media sosial khusunya X banyak menuliskan tagar #SaveRajaAmpat sebagai bentuk penolakan terhadap hilirisasi nikel yang membahayakan lingkungan.

Solusi: Transisi Energi yang Berkeadilan

Pemerintah mengklaim hilirisasi diawasi dengan izin lingkungan ketat. Namun, lemahnya penegakan hukum membuat mitigasi gagal di lapangan. Climate Rights International mendesak penguatan regulasi, penghentian PLTU baru, dan perlindungan hak masyarakat adat. Greenpeace juga menuntut pencabutan izin tambang di Raja Ampat untuk menyelamatkan.

Alternatif ekonomi, seperti ekowisata dan perikanan berkelanjutan harus didorong. Pentingnya pengembangan seperti teknologi ramah lingkungan, seperti pengolahan nikel berbasis energi terbarukan harus dapat terlaksana. Adanya Upaya untuk melakukan transisi energi yang berkeadilan perlu dilakukan bukan malah mengorbankan masyarakat lokal.

Raja Ampat di Persimpangan: Surga atau Tambang?

Hilirisasi nikel menjanjikan kemakmuran, tetapi di Raja Ampat, ia membawa kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Masyarakat lokal kehilangan ruang hidup, sementara ekosistem laut yang tak ternilai terancam punah. Tanpa regulasi ketat dan transisi energi berkeadilan, mimpi Indonesia sebagai raksasa nikel dunia bisa mengorbankan surga terakhir Bumi. Pemerintah, perusahaan, dan publik harus bertindak sekarang, sebelum Raja Ampat hanya tinggal kenangan.

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kunjungi Media Sosial Kami

440PengikutMengikuti
2,430PelangganBerlangganan

Latest Articles