Film G30S/PKI Masih Diputar Setiap 30 September, Warisan Propaganda Orde Baru

Nusavoxmedia.id – Berbagai kanal televisi dan platform daring di Indonesia hampir selalu memunculkan kembali film “Pengkhianatan G30S/PKI” setiap menjelang 30 September. Praktik ini berakar dari kebiasaan era Orde Baru, ketika film tersebut diputar saban akhir September sebagai bagian dari peringatan peristiwa 1965, dan jejaknya masih terlihat hingga kini, termasuk lewat penayangan di stasiun televisi maupun layanan streaming pada hari ini, Selasa, 30 September 2025.

Film garapan Arifin C. Noer yang dirilis pada 1984 itu diproduksi oleh negara dan digunakan secara luas sebagai materi penjelasan resmi peristiwa 30 September, termasuk pemutaran massal di sekolah dan instansi pemerintah. Sejumlah kajian media menyebut strategi penayangan berulang membuatnya menjadi salah satu film paling banyak disaksikan di Indonesia. Narasi film yang menempel di ingatan publik terbentuk bukan semata karena kekuatan artistik, melainkan karena pola distribusi yang masif dan terjadwal.

Sesudah reformasi 1998, pemutaran wajib dihentikan, tetapi perdebatan tentang relevansi film kembali menguat pada periode tertentu. Pada tahun 2017, misalnya, wacana nonton bareng yang diprakarsai oleh TNI menuai pro–kontra di ruang publik. Pihak yang mendukung menilai penayangan itu bagian dari upaya mengingatkan generasi muda agar peristiwa kekerasan politik tidak terulang, sementara pihak yang kontra mempertanyakan akurasi dan narasi sejarah dalam film tersebut. Polemik itu memperlihatkan bahwa posisi film kini lebih sebagai rujukan kontroversial ketimbang “kurikulum tunggal” sejarah 1965.

Baca Juga: Foto Prabowo di Baliho Israel Viral, Kemlu RI Tegaskan Tak Ada Normalisasi Tanpa Pengakuan Palestina

Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Jakarta Timur, dibangun untuk mengenang para Pahlawan Revolusi yang gugur dalam peristiwa G30S/PKI 1965. (foto: istimewa)

Sejumlah sejarawan dan peneliti memberi catatan kritis atas detail dan sudut pandang film. Dilansir Kumparan, Sejarawan Asvi Warman Adam, misalnya, menyoroti adegan-adegan kekerasan yang tidak selaras dengan temuan autopsi, serta unsur-unsur simbolik yang tidak sesuai konteks waktu, sebagai indikasi bahwa film mengedepankan pesan politik ketimbang rekonstruksi historis yang presisi.

Literatur akademik internasional seperti karya John Roosa juga menunjukkan bahwa peristiwa 1965 perlu dibaca lewat banyak sumber dan lapis, termasuk dinamika internal militer, bukan hanya narasi linear yang menyalahkan satu kelompok. Pendekatan multiperspektif tersebut membantu menjelaskan mengapa penayangan film saban akhir September selalu memantik perdebatan metodologi dan etika pengajaran sejarah.

Di sisi lain, kritik terhadap film tidak otomatis menafikan kebutuhan edukasi publik. Banyak pihak mengusulkan agar penayangan dilakukan dengan disertai konteks, bahan bacaan pembanding, dan diskusi terbuka. Wacana ini muncul berulang kali bahwa film boleh ditonton sebagai artefak budaya dan dokumen politik di masanya, tetapi tidak semestinya berdiri sendiri sebagai sumber tunggal pemahaman peristiwa politik tahun 1965.

Narasi tandingan yang berkembang dalam dua dekade terakhir, termasuk film dokumenter internasional dan riset-riset akademik, menunjukkan betapa kompleksnya rentetan kekerasan sesudah 30 September, yang absen atau dipinggirkan dari alur utama film yang dirilis tahun 1984 tersebut.

Fakta bahwa film tersebut kembali diputar atau tersedia setiap 30 September (atau sekitar tanggal itu) menandakan dua hal:
Pertama, ia masih berfungsi sebagai penanda kalender memori kolektif tentang 1965 di Indonesia.
Kedua, ia terus diuji oleh standar baru pembacaan sejarah. Ujian itu hadir melalui kurikulum, penelitian, maupun diskursus publik yang kini menuntut akurasi, keberimbangan, serta empati terhadap para korban lintas kelompok.

Rangkaian ini memperlihatkan bahwa perdebatan bukan lagi sekadar soal “tayang atau tidak tayang”, melainkan bagaimana negara, media, dan masyarakat memberi kerangka penjelasan yang bertanggung jawab setiap kali film itu hadir kembali di ruang publik.

Ke depan, keputusan untuk menayangkan film setiap akhir September kemungkinan besar tetap akan memunculkan respons beragam. Namun, arah pembahasan kini tampaknya bergeser ke praktik kuratorial. Pendekatan itu mencakup penjelasan sebelum dan sesudah pemutaran, penyajian materi pembanding dari penelitian mutakhir, serta pelibatan saksi atau peneliti lintas pandang. Dengan cara seperti ini, penayangan film dapat benar-benar berkontribusi pada literasi sejarah, alih-alih sekadar mengulang narasi masa lalu tanpa ujian kritis.

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Kunjungi Media Sosial Kami

440PengikutMengikuti
2,430PelangganBerlangganan

Latest Articles