Nusavoxmedia.id –Sejarah adalah cermin identitas bangsa, tetapi apakah narasi sejarah Indonesia saat ini cukup inklusif dan akurat? Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia, oleh Kementerian Kebudayaan menargetkan penyelesaian pada 17 Agustus 2025. Dengan pendekatan “Indonesia-sentris,” proyek ini memicu diskusi sengit, terutama terkait risiko politisasi dan penghilangan fakta. Mengapa penulisan ulang sejarah ini mendesak, dan bagaimana proyek ini dapat membentuk masa depan bangsa? Artikel ini mengupas urgensi, tantangan, dan perkembangan terbaru.
Mengapa Penulisan Ulang Sejarah Mendesak?
Menghapus Bias Kolonial dan Narasi Sentris
Narasi sejarah Indonesia era Order Baru sering kali menggunakan perspektif Jawa-Sentris, mengesampingkan perjuangan daerah seperti Aceh atau Papua. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan proyek ini akan menghapus bias kolonial, seperti klaim keliru bahwa Indonesia dijajah 350 tahun. Temuan arkeologi, seperti lukisan gua Leang Karangkuang berusia 52.000 tahun, akan ada dalam buku untuk menonjolkan peradaban awal Nusantara. Dengan demikian, sejarah dapat mencerminkan keberagaman budaya dan perjuangan lokal.
Relevansi untuk Generasi Muda
Buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) terakhir terbit pada 2008, hanya mencakup hingga era Presiden Habibie. Generasi Z dan milenial, yang akrab dengan platform digital seperti X, sering menganggap narasi sejarah kaku. Proyek ini akan memasukkan peristiwa hingga era Jokowi, dengan bahasa dinamis dan format multimedia untuk menarik minat generasi muda. “Jangan sampai generasi muda tak tahu siapa Sutan Sjahrir,” kata Fadli Zon, menekankan pentingnya sejarah sebagai kunci identitas nasional.
Menangkal Hoaks dan Politisasi Sejarah
Hoaks sejarah, seperti distorsi peristiwa G30S/PKI, mudah menyebar di media sosial. Penulisan ulang sejarah berbasis riset ilmiah bertujuan meluruskan fakta. Namun, Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) memperingatkan risiko manipulasi, seperti potensi penghilangan peristiwa Tragedi 1965 atau Mei 1998, yang dapat memicu polarisasi. Transparansi menjadi kunci untuk menjaga objektivitas.
Memperkuat Identitas Nasional
Narasi inklusif yang mencakup peran etnis minoritas dan perempuan dapat memperkuat kebangsaan. Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian, menegaskan proyek ini harus menciptakan “memori kolektif bangsa” yang mendidik, melibatkan sekitar 113 sejarawan untuk mewakili keragaman Indonesia.
Fakta Menarik Proyek Penulisan Ulang Sejarah
Persetujuan DPR dan Target 17 Agustus 2025
Komisi X DPR menyetujui proyek penulisan ulang sejarah dengan anggaran rp9 miliar pada 26 Mei 2025 kemarin. Proyek ini targetnya akan selesai pada HUT RI ke-80 yaitu 17 Agustus mendatang dengan melibatkan sekitar 113 sejarawan. Buku akan terdiri dari 10 jilid, mencakup prasejarah hingga era Reformasi, dengan pendekatan Indonesia-sentris. Fadli Zon menegaskan bahwa narasi baru akan memasukkan temuan arkeologi, seperti situs Bongal di Tapanuli yang menunjukkan masuknya Islam pada abad ke-7.
Kontroversi dan Penolakan
Sementara itu, proyek ini juga mendapat kritik dari AKSI yang dipimpin Marzuki Darusman. Mereka menyebut proyek ini sebagai “manipulasi sejarah” karena risiko tafsir tunggal dan potensi penghilangan peristiwa sensitif, seperti Tragedi 1965, Mei 1998, atau Kongres Perempuan 1928. Aktivis Usman Hamid memperingatkan bahwa narasi yang menguntungkan rezim dapat mengaburkan pelanggaran HAM yang pernah Jokowi akuipada 2023.
Pengunduran Diri Sejarawan
Arkeolog Harry Truman Simanjuntak mengundurkan diri pada 22 Januari 2025 karena ketidaksesuaian akademis, khususnya penolakan terhadap istilah “sejarah awal” alih-alih “prasejarah.” Ia menganggap istilah ini tidak sesuai dengan nomenklatur keilmuan. Ketegangan serupa muncul ketika sejarawan diminta menulis tentang era Jokowi, seperti IKN, yang dianggap belum matang untuk dicatat sebagai sejarah.
Pendekatan Sejarah Publik
Kalangan akademisi mendorong pendekatan sejarah publik yang dialogis dan inklusif, melibatkan masyarakat sebagai subjek sejarah. Uji publik akan terlaksana pada Juni atau Juli 2025, saat proyek mencapai 70%, untuk memastikan transparansi dan partisipasi publik.
Penutup
Penulisan ulang sejarah Indonesia adalah kebutuhan strategis untuk memperkuat identitas nasional di tengah tantangan global. Dengan narasi yang inklusif dan berbasis fakta, sejarah dapat menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan visi masa depan. Namun, transparansi, partisipasi publik, dan kehati-hatian dalam menangani isu sensitif menjadi kunci keberhasilan. Mari wujudkan sejarah yang tidak hanya mencatat, tetapi juga menginspirasi generasi mendatang menuju Indonesia yang adil dan berdaulat.

