Nusavoxmedia.id –Pada 10 Juni 2025 kemarin, Menteri Kebudayaan Fadli Zon memicu gelombang kecaman setelah menyangkal adanya pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998. Dalam wawancara Real Talk with Uni Lubis di kanal YouTube IDN Times, Fadli menyebut peristiwa tragis itu sebagai “rumor” tanpa bukti, memicu kemarahan dari aktivis hak asasi manusia (HAM), penyintas, hingga masyarakat sipil. Pernyataan ini, yang dianggap menegasikan laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan pengakuan negara, membuka luka lama dan memicu polemik besar.
Awal Polemik: Pernyataan Fadli Zon dan Konteks Revisi Sejarah
Fadli Zon selaku pemimpin yang sedang dalam proyek penulisan ulang sejarah Indonesia senilai Rp9 miliar, memberikan pernyataan kontroversial saat membahas narasi sejarah yang menurutnya perlu “diperbaiki.” Dalam wawancara dengan Uni Lubis, ia berkata, “Pemerkosaan massal, kata siapa itu? Enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di buku sejarah itu? Enggak pernah ada.” Ia bahkan mengklaim telah menantang tim pencari fakta tanpa mendapat bukti kuat. Pernyataan ini langsung memicu reaksi keras, terutama karena bertentangan dengan laporan TGPF yang mendokumentasikan 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 pemerkosaan, selama kerusuhan 13–15 Mei 1998.
Hari ini, 16 Juni 2025 Fadli memberikan klarifikasi melansir dari detik.com, menyatakan bahwa Ia tidak menyangkal kekerasan seksual, tetapi meminta kehati-hatian dalam menggunakan istilah “pemerkosaan massal” karena data dianggapnya “tak konklusif.” Ia menyebut liputan investigatif sebuah majalah terkemuka gagal mengungkap fakta kuat, dan laporan TGPF hanya menyebut angka tanpa data pendukung seperti nama atau pelaku. Namun, klarifikasi ini dinilai tidak meredam kemarahan, malah memperdalam polemik.
Kecaman Dari Aktivis HAM dan Komnas Perempuan
Pernyataan Fadli Zon memicu gelombang kecaman dari berbagai pihak. Komnas Perempuan, melalui komisioner Dahlia Madanih, menyebut pernyataan itu “sangat menyakitkan” bagi penyintas, terutama karena laporan TGPF telah negara akui dan menjadi dasar pembentukan Komnas Perempuan melalui Keppres No. 181 Tahun 1998.
Amnesty International Indonesia, melalui Direktur Eksekutif Usman Hamid, menilai pernyataan Fadli sebagai “penyangkalan ganda” untuk menghindari tanggung jawab pemerintah. Usman menyebut penyangkalan ini bertujuan mendiskreditkan kerja TGPF dan Komnas HAM, yang telah mengklasifikasi kekerasan seksual 1998 sebagai pelanggaran HAM berat. “Ini kekeliruan fatal,” tegas Usman dalam konferensi pers daring pada 13 Juni 2025 kemarin .
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas, yang terdiri dari 547 organisasi dan individu, mengecam pernyataan Fadli sebagai “manipulasi sejarah.” Tuba Falopi, penyintas dan perwakilan Forum Aktivis Perempuan Muda (FAMM), menyatakan bahwa pernyataan Fadli membuka “luka baru” bagi korban. “Kekerasan seksual 1998 adalah babon kekerasan yang masih terasa hingga kini,” ujarnya, menuntut permintaan maaf publik.
Warga Tionghoa, melalui perwakilannya juga mengecam Fadli, merujuk pada temuan TGPF tentang 66 kasus pemerkosaan sistematis terhadap perempuan Tionghoa di Jakarta. “Pernyataan ini melukai kami,” ungkap seorang penyintas dalam konferensi pers Aliansi Perempuan Indonesia pada 14 Juni 2025 kemarin.
Ancaman Impunitas dan Revisi Sejarah
Polemik ini tidak hanya soal penyangkalan sejarah, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran terhadap proyek revisi sejarah yang Fadli Zon sedang kerjakan. Perempuan Mahardhika, bagian dari Aliansi Perempuan Indonesia, menilai pernyataan Fadli mencerminkan sikap pemerintahan Prabowo yang enggan menyelesaikan pelanggaran HAM.
PKB, melalui Nihayatul Wafiroh, mengecam Fadli karena “merendahkan martabat korban.” Ia meminta pejabat publik berhati-hati berkomentar tanpa kajian mendalam, terutama soal kekerasan perempuan. Peneliti BRIN, Lili Romli, menyebut pernyataan Fadli memicu kegaduhan dan menunjukkan kurangnya empati.
Penyangkalan ini juga memperpanjang impunitas, menurut Komnas Perempuan. “Negara gagal memberikan keadilan, dan pernyataan ini menutup ruang pemulihan korban,” ujar Dahlia Madanih. Aktivis seperti Ita, relawan kemanusiaan era 1998, menyebut pernyataan Fadli sebagai “dusta” yang menyangkal pengalaman langsung penanganan korban.
Keadilan untuk Korban
Pernyataan Fadli Zon yang menyangkal pemerkosaan massal Mei 1998 telah memicu polemik besar. Hal ini membuka luka lama penyintas, dan mengancam pengakuan sejarah Indonesia. Berlawanan dengan laporan TGPF, pengakuan negara, dan bukti internasional, pernyataan ini menjadi penyangkalan yang menyakitkan dan berbahaya. Komnas Perempuan, Amnesty International, dan masyarakat sipil menuntut Fadli mencabut pernyataannya dan meminta maaf. Mereka juga mendesak pemerintah menuntaskan kasus pelanggaran HAM 1998. Di tengah proyek revisi sejarah, publik berharap narasi sejarah dibangun dengan keadilan, empati, dan fakta, bukan penyangkalan.

