Di rumah sakit, bau obat dan suara mesin pemantau jantung menjadi lagu pengantar tidurnya. Dokter mengatakan ia mungkin tak bisa berjalan normal lagi, seolah mengutuk mimpinya menjadi debu. Tapi Karta hanya tersenyum lemah; baginya, dunia boleh menghancurkan tubuh, tapi tidak bisa membunuh semangat. Ia belajar berjalan lagi dengan tongkat, seperti seorang ksatria yang belajar menunggang kuda setelah disergap di medan perang. “Aku harus tetap hidup,” katanya, kepada Tuhan, kepada dirinya sendiri, kepada dunia yang selalu menertawakannya.
Luka itu malah menjadi sayap baru untuk Karta. Dengan tongkat di tangan, ia melangkah lebih gagah daripada pasukan berkuda. Ia terus menulis, terus berbicara, terus berdiri, bahkan ketika dunia memaksanya untuk jatuh. Setiap langkahnya adalah perlawanan, setiap senyumnya adalah tamparan untuk keputusasaan. Ia menjadi simbol bahwa manusia bukan tentang tubuhnya, tapi tentang jiwanya.
Tak puas menjadi wartawan, Karta mengejar gelar demi gelar, ibarat pemburu yang haus darah kemenangan. Ia meraih D3, S1, S2, seperti orang memetik buah di musim panen paling subur. Nama lengkapnya akhirnya sepanjang untaian doa: Karta, A.Md., S.Sos., M.I.Kom., CNPSP., C.LS., C.HL., C.PM., C.LC., CHS., C.PRS., C.SMS., C.CLS., C.TRS., C.CHS., CILQ., C.RCS®, CT.RC®, C.GM., C.PS., C.Pst., CTP. Setiap huruf di belakang namanya seperti bintang yang menghiasi langit kehidupannya. Tuhan, lihatlah, ini anak dari gubuk reot yang kini memegang dunia dalam genggamannya!
Karta pun menjadi dosen di Universitas Pamulang, mengajar generasi yang bahkan tak pernah tahu bagaimana kerasnya dunia tanpa payung. Setiap masuk kelas, Karta membawa semangat ribuan peluh ayahnya, doa ibunya, dan cucuran darah perjuangannya sendiri. Ia mengajar bukan hanya dari buku, tapi dari luka, dari tangis, dari tawa yang pernah patah. Mahasiswanya melihatnya sebagai guru, sahabat, dan bukti hidup bahwa mimpi tak pernah kalah. “Tuhan, aku lelah,” bisik Karta tiap malam, “tapi aku tak mau kalah.”
Di rumahnya di Petukangan Selatan, Jakarta, Karta membangun keluarga kecil penuh cinta bersama Istrinya, sang perawat penyembuh luka hatinya. Dua malaikat kecil di rumahnya menjadi alasan mengapa Karta harus tetap terjaga, bahkan ketika dunia mencoba menidurkannya. Setiap tawa anak-anaknya adalah balas dendam manis atas semua luka masa lalu. Karta tak lagi berlari sendiri; ia berlari bersama harapan baru, cinta baru. Di rumah mungilnya, tawa kecil terdengar lebih keras daripada semua deru truk yang pernah dilaluinya.
Kadang, saat malam terlalu sepi dan luka lama berbisik, Karta menatap langit dan menangis dalam diam. Ia tahu, hidup bukan tentang siapa yang paling cepat sampai, tapi siapa yang tetap berjalan meski kakinya berdarah. Ia tahu, bahagia bukan hadiah, melainkan hasil dari perang melawan keputusasaan setiap hari. Ia tahu, Tuhan tak pernah meninggalkannya, bahkan saat dunia berpaling. “Aku tetap hidup,” katanya pada dirinya sendiri, seakan dunia perlu diingatkan siapa dirinya.
Kini, saat orang-orang melihat Karta, mereka hanya melihat gelar, jabatan, dan karya. Mereka tak melihat bocah kecil yang dulu tidur di emperan dengan koran sebagai selimut. Mereka tak melihat bocah yang menjual es bonbon sambil menahan lapar. Tapi bagi Karta, semua luka itu bukan aib; itu adalah medali, lebih berharga daripada semua penghargaan di dunia. “Tuhan, aku lelah,” katanya, “tapi aku bangga pada setiap luka yang Kau titipkan.” Dalam setiap seminar yang ia isi, dalam setiap artikel yang ia tulis, dalam setiap mahasiswa yang ia bimbing, Karta menitipkan satu pesan: jangan pernah kalah sebelum bertarung. Dunia ini bukan tempat untuk orang yang setengah hati. Dunia ini untuk mereka yang bersedia berdarah, jatuh, bangkit, dan tertawa di atas luka mereka. Dan Karta telah membuktikan, dengan tongkat, dengan pena, dengan darah dan doa, bahwa hidup adalah anugerah yang pantang disia-siakan. Tuhan, lihatlah, aku tetap hidup.
keren banget ini