DPR RI secara resmi mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang RUU TNI. Pengesahan ini terjadi dalam Rapat Paripurna ke-15 Masa Persidangan II 2024-2025 tepat hari ini. Prosesnya cepat sejak awal Maret. Namun, Hal ini memicu gelombang kritik dari berbagai kalangan masyarakat sipil. Apa saja poin utama dalam RUU TNI yang baru ini, dan mengapa banyak pihak yang khawatir?
Poin Utama dalam RUU TNI yang Baru
Revisi UU TNI ini membawa beberapa perubahan penting yang menjadi perhatian publik. Berikut adalah tiga pokok utama yang disepakati:
- Perluasan Tugas TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP)
RUU TNI menambah dua kewenangan baru dalam Pasal 7 terkait tugas TNI di luar situasi perang. Pertama, TNI kini dapat membantu menanggulangi ancaman siber. Kedua, TNI berwenang melindungi dan menyelamatkan warga negara Indonesia serta kepentingan nasional di luar negeri. Dengan ini, tugas OMSP TNI bertambah dari 14 menjadi 16 poin. Dan usulan untuk melibatkan TNI dalam penanganan narkotika akhirnya dibatalkan. - Prajurit Aktif Boleh Menduduki Jabatan Sipil
Salah satu perubahan paling kontroversial ada pada Pasal 47. Jumlah instansi sipil yang dapat diisi prajurit TNI aktif bertambah dari 10 menjadi 14. Beberapa lembaga baru yang masuk daftar antara lain Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung (khusus Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer). Ketentuan ini memungkinkan prajurit aktif mengisi posisi strategis tanpa harus mengundurkan diri, selama sesuai kebutuhan instansi terkait. - Penyesuaian Batas Usia Pensiun
Pasal 53 mengatur ulang batas usia pensiun prajurit TNI berdasarkan pangkat. Bintara dan tamtama kini pensiun pada usia 55 tahun dari yang sebelumnya 53 tahun. Perwira hingga pangkat kolonel tetap 58 tahun. Sementara perwira tinggi bintang satu hingga bintang empat mendapat perpanjangan bertahap dengan usia maksimalnya kini 60-63 tahun.
Alasan Pengesahan dan Dukungan Pemerintah
Pemerintah dan DPR menyatakan revisi ini diperlukan untuk memperkuat peran TNI. Mereka ingin TNI siap hadapi ancaman modern. Ancaman siber dan dinamika global jadi alasan utama. Menhan Sjafrie Sjamsoeddin berkata bahwa UU lama sudah tidak relevan. Ketua Komisi I DPR yaitu Utut Adianto, membantah tuduhan adanya pengembalian dwifungsi ABRI seperti era Orde Baru.
Kontroversi dan Penolakan Publik
Seluruh fraksi di DPR mendukung penuh pengesahan RUU TNI, tetapi masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi seperti Imparsial serta YLBHI menolak keras. Mereka khawatir revisi ini menghidupkan kembali dwifungsi TNI. Selain itu, bertambahnya jabatan sipil bagi prajurit aktif mengaburkan batas antara supremasi sipil dan militer. Sementara itu, perluasan tugas OMSP tanpa pengawasan ketat DPR bisa membuka celah penyalahgunaan wewenang.
Proses pembahasan yang cepat dan kurang transparan juga menjadi sorotan. Rapat Panja yang terjadi kemarin di Hotel Fairmont pada 14-15 Maret menuai kritik. Publik menilai DPR hindari partisipasi. Petisi daring “Tolak Dwifungsi” sudah dapat 12.000 tanda tangan hingga 18 Maret.
Apa Dampaknya ke Depan?
Pengesahan RUU TNI ini membawa implikasi besar bagi hubungan sipil-militer di Indonesia. Di satu sisi, pendukungnya berargumen bahwa perubahan ini akan meningkatkan koordinasi keamanan nasional dan kesiapan TNI menghadapi ancaman baru. Namun, di sisi lain, kritik mengingatkan bahwa tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, supremasi sipil dalam demokrasi bisa tergerus, membawa Indonesia kembali ke bayang-bayang militerisme.
Penutup
Revisi UU TNI yang baru ini ibarat pedang bermata dua: ia menawarkan potensi penguatan pertahanan, namun juga membawa risiko terhadap nilai-nilai demokrasi yang telah diperjuangkan sejak Reformasi. Di tengah pro dan kontra, yang jelas, peran aktif masyarakat dalam mengawal implementasi aturan ini menjadi kunci. Pengawasan publik dan lembaga independen sangat penting. Karena itu, mari kita terus berdiskusi dan memastikan bahwa TNI tetap menjadi penjaga negara, bukan penguasa rakyat. Bagaimana menurut kalian?

