Nusavoxmedia.id – Isu mengenai gaji dan fasilitas anggota DPR RI periode 2024–2029 kembali menuai perhatian publik. Kabar yang beredar menyebutkan penghasilan anggota dewan bisa mencapai Rp100 juta per bulan. Ketua DPR RI Puan Maharani membantah keras rumor tersebut.
Ia menegaskan tidak ada kenaikan gaji, melainkan hanya pergantian fasilitas rumah jabatan dengan uang tunjangan perumahan. “Bukan ada tambahan penghasilan, hanya kompensasi karena rumah dinas sudah tidak disediakan,” ujarnya saat ditemui di Istana Merdeka pada, Minggu (17/8/2025).
Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, menjelaskan bahwa tunjangan perumahan untuk periode 2024–2029 ditetapkan sebesar Rp50 juta per bulan berdasarkan Surat Setjen DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024. Kebijakan ini diambil karena rumah jabatan di Kalibata, Jakarta Selatan, dan Ulujami, Jakarta Barat, dianggap sudah tidak lagi layak huni.
Selain tunjangan perumahan, anggota DPR juga menerima fasilitas lain, seperti biaya perjalanan dinas yang diatur dalam Peraturan Sekretaris Jenderal DPR RI Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perjalanan Dinas Sekretariat Jenderal DPR RI. Hal ini meliputi uang harian transportasi, akomodasi, uang representasi dan sewa kendaraan dalam kota, dilansir dari Good News from Indonesia.
Baca Juga: Raya, Balita Sukabumi yang Meninggal karena Infeksi Cacing: Tragedi dan Pelajaran Besar
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2000, gaji pokok anggota DPR relatif kecil. Lihat daftar di bawah ini:
- Ketua DPR menerima Rp5,04 juta.
- Wakil Ketua Rp4,62 juta.
- anggota biasa Rp4,2 juta per bulan.
Namun, penghasilan mereka meningkat signifikan karena berbagai tunjangan yang diatur dalam Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 dan Surat Menteri Keuangan nomor S-520/MK.02/2015. Berikut rincian tunjangan bulanan untuk anggota DPR biasa:

Jika dilihat dari gambar di atas, total penghasilan bulanan anggota DPR bisa melebihi Rp100 juta per bulan. Puan Maharani menegaskan bahwa tunjangan perumahan ini merupakan pengganti rumah jabatan yang telah dikembalikan ke Kementerian Keuangan, bukan kenaikan gaji baru.
Tunjangan PPh 21 dan Kritik Publik
Salah satu aspek yang menuai sorotan adalah tunjangan PPh Pasal 21 sebesar Rp2,69 juta per bulan, yang diberikan untuk mengkompensasi beban pajak penghasilan anggota DPR. Berdasarkan tarif progresif PPh Pasal 17 UU Pajak Penghasilan, dengan penghasilan kena pajak sekitar Rp100 juta per bulan (setelah dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak/PTKP sebesar Rp54 juta per tahun untuk wajib pajak lajang), beban pajak anggota DPR diperkirakan mencapai Rp24 juta per bulan atau sekitarRp288 juta per tahun.
Tunjangan PPh 21 hanya menutup sebagian kecil dari beban pajak ini, tetapi tetap disetor ke kas negara, sehingga anggota DPR tetap membayar pajak sesuai ketentuan. Namun, keberadaan tunjangan ini dipandang oleh publik sebagai bentuk kompensasi yang mengurangi beban pajak mereka, berbeda dengan pekerja biasa yang menanggung pajak sepenuhnya dari penghasilan pribadi.
Prinsip keadilan pajak (equity) menekankan bahwa mereka yang berpenghasilan lebih tinggi seharusnya menanggung beban pajak yang lebih besar. Sebagai perbandingan, pekerja dengan gaji di bawah Rp5 juta per bulan sering kali tidak dikenakan PPh 21 jika penghasilan tahunan mereka di bawah PTKP (Rp54 juta untuk lajang, lebih tinggi jika memiliki tanggungan). Namun, bagi pekerja yang dikenakan pajak, potongan PPh 21 diambil langsung dari gaji mereka tanpa kompensasi tambahan.
Kritik bermunculan dan polemik pun terjadi di media sosial. Salah satu kritik datang dari Lucius Karus dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). Ia menyoroti bahwa tunjangan seperti ini mencerminkan ketimpangan, terutama di tengah tantangan ekonomi masyarakat.
Baca Juga: Kontroversi Buku Jokowi’s White Paper Diluncurkan, Penulis Klaim Akan Didistribusikan ke 25 Negara
Dilansir dari BBC News Indonesia, Lucius menyatakan bahwa pemberian tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan dianggap sensitif karena masyarakat menghadapi kenaikan harga beras menjadi Rp14.260/kg untuk beras medium dan peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebesar 32,19% pada semester I 2025, yang mencakup 42.385 pekerja.
Konteks dan Dampak Politik
Kebijakan tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan menuai kritik karena dianggap tidak mendesak dan membebani anggaran negara. Indonesia Corruption Watch (ICW) memperkirakan bahwa tunjangan ini menghabiskan Rp1,74 triliun untuk 580 anggota DPR selama lima tahun. Kritik ini diperkuat oleh rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap DPR, yang hanya mencapai 69% berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia pada Januari 2025, dilansir dari BBC News Indonesia. Selain itu, banyak anggota DPR dari Jabodetabek tidak menggunakan rumah jabatan karena sudah memiliki rumah pribadi, sehingga tunjangan perumahan dianggap kurang efisien.
Meski demikian, beberapa anggota DPR memiliki pandangan berbeda. Habiburokhman menyatakan bahwa tunjangan Rp50 juta tidak cukup untuk menyewa rumah di kawasan strategis seperti Senayan, sementara Irma Suryani Chaniago dari Fraksi Nasdem menyebut rumah jabatan sebelumnya mubazir karena jarang ditinggali, terutama oleh anggota DPR yang sudah memiliki rumah pribadi, dilansir dari Kumparan dan Tempo.
Namun, di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sulit, kebijakan ini tetap dianggap kurang sensitif oleh publik. Lucius Karus dari Formappi menyarankan agar DPR mempertahankan rumah jabatan hingga pindah ke Ibu Kota Nusantara (IKN) untuk menghemat anggaran.
Penutup
Penghasilan anggota DPR yang mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan memang bukan karena kenaikan gaji pokok, melainkan karena tunjangan perumahan baru dan berbagai tunjangan lainnya.
Namun, keberadaan tunjangan PPh 21 dan tunjangan perumahan memicu persepsi ketimpangan, terutama karena simbol politiknya yang dianggap tidak sejalan dengan prinsip keadilan pajak dan kondisi ekonomi masyarakat. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran DPR perlu ditingkatkan untuk meminimalkan kritik publik dan memastikan bahwa fasilitas yang diberikan benar-benar mendukung tugas legislatif demi kepentingan rakyat.

