Oleh Bung Fai
Karta kecil lahir dari tanah yang basah oleh peluh dan doa, di Indramayu yang panasnya mampu memanggang cita-cita siapa pun yang berani bermimpi. Ayah dan ibunya, bersama keempat kakaknya, memutuskan menantang langit Jakarta, menjual rumah warisan demi segenggam harapan. Dengan kantong yang hampir bolong oleh hutang, mereka berangkat, bermodal sisa uang dan sejuta keyakinan yang bergetar di dada. Di jalanan Jakarta yang keras seperti batu neraka, keluarga Karta mengais rezeki dari sisa dunia: menjadi pemulung. Setiap tarikan napas mereka adalah pertempuran antara menyerah atau bertahan.
Pagi hari, Karta yang masih bau tanah itu, menggendong tumpukan koran setinggi gunung Semeru. Di usia yang seharusnya bermain, Karta malah berlari mengejar matahari, memburu rezeki yang sering kali menghilang di balik gedung-gedung angkuh. Sepulang sekolah, dia membawa es bonbon dalam kantong plastik lusuh, menjajakan kepada teman-temannya yang seringkali hanya menatap iba. Ia belajar di antara suara klakson dan debu jalanan, membaca buku di bawah lampu jalan yang menggigil diterpa angin malam. Tapi Tuhan tahu, dalam dada kecil Karta, berkobar api yang lebih panas dari bara neraka: semangat hidup yang tak mau padam.
Karta tak pernah absen menjadi juara kelas, walau bajunya seringkali lebih sobek daripada halaman buku pelajarannya. Tiap pengumuman peringkat, namanya menggema lebih keras daripada genderang perang di medan laga. Teman-temannya memandangnya seperti melihat dewa kecil yang turun dari langit kumuh. Saat pagi dia menjadi buruh kecil, siang berubah menjadi pedagang cilik, dan malam berubah menjadi ksatria ilmu. Dunia menggodanya dengan segala hinaan dan keletihan, tapi Karta menggenggam mimpi lebih erat daripada tangan anak kecil menggenggam balon merahnya.
Memasuki SMP, kehidupan Karta mulai berubah pelan-pelan, seperti aliran sungai yang akhirnya menemukan jalannya ke samudra. Ayahnya, dengan tangan yang kasar dan luka menganga, membangun usaha jual beli kayu bekas dari nol, dengan modal tekad yang bisa menggoyahkan gunung. Ibunya mulai berdagang kelontong, setiap hari menata mimpi-mimpi kecil di rak kayu warungnya. Karta tetap menjual koran, berlarian seperti peluru hidup, menjajakan berita kepada orang-orang yang lebih peduli pada cuaca ketimbang nasib bocah penjual koran. Tapi Karta tahu, hidupnya bukan untuk dikasihani; hidupnya untuk dibuktikan.
Saat SMA, Karta menemukan pelarian lain dari kelelahan dunia: menulis. Tangannya yang dulu menggenggam koran kini menggenggam pena, menulis cerita-cerita yang mampu menggetarkan langit Jakarta. Kata-kata adalah peluru, pena adalah senjata, dan pikirannya adalah medan tempur tanpa akhir. Ia menulis di kertas lusuh, di sobekan karton bekas, bahkan di balik struk belanja, menumpahkan mimpi yang tak tertampung oleh dunia. Malam-malamnya berubah menjadi festival ide, pikirannya terbang lebih tinggi dari burung-burung di atap gedung.
Ketika kuliah, Karta sudah menelurkan buku, seperti pohon yang baru tumbuh tapi sudah berbuah emas. Di kampus, ia bukan hanya mahasiswa, ia adalah badai yang berjalan, membawa semangat yang bisa membelah langit. Kawan-kawannya membacanya dengan mata penuh kekaguman, seakan Karta adalah makhluk langka yang turun dari dunia lain. Setiap huruf yang ditulisnya seperti seruan perang kepada kemalasan dan keputusasaan. Tuhan pasti menulis takdir Karta dengan tinta emas, pikir orang-orang.
Selepas kuliah, Karta menembus dunia jurnalistik, bergabung dengan Dipost.co, berlari mengejar berita seperti pemburu mengejar rusa di hutan yang tak pernah tidur. Ia meliput di tempat-tempat berbahaya, di antara gas air mata, di bawah ancaman parang, di tengah jalanan yang mendidih oleh kemarahan. Baginya, nyawa adalah taruhan kecil untuk sebuah kebenaran yang harus dikabarkan. Setiap tulisannya seperti anak panah yang menancap di dada kekuasaan. Ia menjadi suara bagi mereka yang bisu, menjadi mata bagi mereka yang buta.
Namun suatu malam, nasib mengujinya lebih kejam dari badai. Saat menyeberang jalan, sebuah mobil hitam misterius, secepat kilat, menghantam tubuh ringkih Karta. Dunia seolah berhenti; bintang jatuh dari langit; bumi retak; dan dalam sekejap, kaki kanannya patah, robek seperti kertas yang dicabik badai. Jeritan rasa sakitnya menembus langit Jakarta yang kelam. Tapi Karta, bahkan dalam robeknya tubuh, masih memeluk mimpi dalam pikirannya.
keren banget ini