Di tengah dinamika politik Indonesia, RUU TNI jadi topik panas awal 2025. Revisi UU No. 34 Tahun 2004 yang dibahas DPR dan pemerintah memicu pro-kontra, terutama soal potensi kembalinya dwifungsi militer dan ancaman supremasi sipil. Hingga 18 Maret 2025, sorotan publik kian tajam karena rapat tertutup Panja Komisi I DPR, termasuk di Hotel Fairmont pada 15 maret kemarin, yang dianggap kontroversial. Apa yang terjadi?
Latar Belakang Revisi
Revisi digulirkan untuk menyesuaikan TNI dengan ancaman modern seperti siber dan perang hibrida, sekaligus menjamin kesejahteraan prajurit, kata Ketua Panja Utut Adianto dan Menhan Sjafrie Sjamsoeddin. Tapi, banyak yang khawatir ini membuka pintu peran sipil TNI, mengingatkan dwifungsi ABRI era Orde Baru yang ditiadakan pasca-reformasi 1998.
Pasal-Pasal Kontroversial
Draf RUU memuat pasal bermasalah:
- Pasal 47: Prajurit aktif boleh jabat posisi sipil (Kejaksaan Agung, KKP, BNPP), disebut dwifungsi terselubung oleh KontraS dan Amnesty.
- Pasal 7: Operasi Militer Selain Perang (OMSP diperluas jadi 19 jenis (narkotika, siber), tak perlu restu DPR, diganti lewat Peraturan Pemerintah (PP) yang dapat melemahkan pengawasan.
- Pasal 53: Usia pensiun diperpanjang, dituding pertahankan kuasa militer.
Reaksi Publik
Koalisi Masyarakat Sipil (Imparsial, YLBHI, KontraS) menolak, sebut RUU ini bahaya bagi demokrasi dan kurang transparan. Tagar #TolakRUUTNI ramai di media sosial, tunjukkan keresahan rakyat.
Posisi Pemerintah dan DPR
Pemerintah bilang ini hanya penyempurnaan tugas TNI, bukan dwifungsi, kata Menko Polhukam Hadi Tjahjanto. DPR terpecah: Puan Maharani janji luruskan, tapi rapat di hotel mewah picu kritik soal transparansi.
Apa Taruhannya?
Jika lolos apa adanya, supremasi sipil terancam, konflik dengan Polri mengintai. Modernisasi TNI perlu, tapi tak harus korbankan demokrasi, tingkatkan anggaran dan alutsista bisa jadi solusi.
Kesimpulan
RUU TNI 2025 uji komitmen demokrasi Indonesia. Tekanan publik kunci jaga supremasi sipil. Akankah rakyat didengar, atau demokrasi jadi korban?