Habemus Papam: Paus Leo XIV, Pontifex Pertama Asal Amerika Serikat

Nusavoxmedia.id – Gereja Katolik menyambut sejarah baru. Kardinal Robert Francis Prevost dari Amerika Serikat terpilih sebagai Paus Leo XIV pada 8 Mei 2025 dan menjadi pontifex pertama dari Amerika dalam 2.000 tahun sejarah gereja. Pengumuman ini mengakhiri konklaf dua hari di Kapel Sistina, menyusul wafatnya Paus Fransiskus pada 21 April 2025. Asap putih dari cerobong Sistina dan dentang lonceng Basilika Santo Petrus memicu sorak sorai di Lapangan Santo Petrus, menandakan lahirnya pemimpin baru bagi 1,4 miliar umat Katolik.

Latar Belakang Kardinal Robert Prevost

Lahir di Chicago pada 1955, Robert Prevost menghabiskan kariernya sebagai misionaris di Peru, menjabat sebagai uskup di Chiclayo. Ia adalah pendukung reformasi Paus Fransiskus, terutama dalam keadilan sosial. Baca kenangan warisan Paus Fransiskus di sini. Sebelum terpilih, Prevost memimpin kantor Vatikan untuk pengangkatan uskup global. Ia berhasil meraih dua pertiga suara dari 133 kardinal pemilih, mengejutkan banyak pengamat yang memperkirakan kardinal Eropa yang akan terpilih. “Ini momen bersejarah. Gereja punya paus dari Amerika,” kata Rev. Joshua McElwee, jurnalis Vatikan, kepada Reuters.

Arti Nama Leo XIV

Nama “Leo XIV” melambangkan keberanian dan kekuatan. “Leo” berarti “singa” dalam bahasa Latin, merujuk pada Kristus sebagai “Singa dari Suku Yehuda.” Prevost memilih nama ini untuk menghormati Paus Leo XIII, yang ensikliknya Rerum Novarum (1891) mengukuhkan ajaran sosial Katolik. Ini juga ada hubungannya terkait Paus Leo I yang memperkuat Takhta Suci. Nama ini mencerminkan misi Prevost untuk memimpin dengan tegas dan fokus pada keadilan sosial, sekaligus melanjutkan reformasi Paus Fransiskus.

Konklaf 2025: Proses Penuh Makna

Konklaf dimulai pada 7 Mei 2025, sehari setelah para kardinal menghadiri misa khusus di Basilika Santo Petrus untuk memohon bimbingan ilahi. Sebanyak 133 kardinal dari 71 negara, konklaf paling beragam secara geografis dalam sejarah, berkumpul dalam isolasi ketat di Kapel Sistina. Tradisi kuno ini menampilkan ritual pembakaran surat suara: asap hitam menandakan belum ada keputusan, sementara asap putih mengisyaratkan terpilihnya paus baru.

Setelah dua putaran voting yang menghasilkan asap hitam pada hari pertama, keputusan akhir tercapai pada sore hari kedua yaitu 8 Mei. Ketika Kardinal Dominique Mamberti muncul di balkon Basilika Santo Petrus dan mengucapkan “Habemus Papam,” lebih dari 100.000 umat yang berkumpul di lapangan meledak dalam sorak sorai. Prevost, yang kini mengambil nama Leo XIV, muncul dengan jubah kepausan merah dan putih, menyapa umat dalam bahasa Italia, Spanyol, dan Latin.

Warisan Paus Fransiskus dan Tantangan Baru

Paus Fransiskus, yang memimpin gereja sejak 2013 hingga wafatnya pada usia 88 tahun, meninggalkan warisan besar. Ia dikenal sebagai paus pertama dari Amerika Latin yang vokal membela kaum terpinggirkan, termasuk seruan gencatan senjata dalam konflik Israel-Hamas. Salah satu harapan terakhirnya adalah mengubah “popemobile” yang ia gunakan di Yerusalem menjadi klinik keliling untuk Gaza, sebuah simbol perdamaian yang kini menjadi tanggung jawab Paus Leo XIV agar  bisa terealisasikan.

Namun, tantangan besar menanti. Gereja Katolik menghadapi perpecahan antara kubu konservatif dan progresif, terutama setelah 20 tahun kepemimpinan yang kontras antara Paus Benediktus XVI dan Paus Fransiskus. Beberapa pengamat khawatir akan risiko skisma, sementara yang lain berharap Paus Leo XIV dapat menjadi “jembatan” bagi gereja yang terpolarisasi. Selain itu, isu global seperti perubahan iklim, migrasi, dan inklusivitas LGBTQ+ dalam gereja, yang menjadi fokus Paus Fransiskus, akan menguji kepemimpinan baru ini.

Reaksi Dunia: Harapan dan Kontroversi

Pemilihan Paus Leo XIV disambut hangat oleh banyak pemimpin dunia. Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebutnya “momen bersejarah” bagi umat Katolik, sementara Sekjen PBB Antonio Guterres berharap dapat melanjutkan kerja sama dengan Vatikan untuk membangun dunia yang lebih adil. Namun, di Amerika Serikat, beberapa kalangan konservatif menyuarakan kritik. Mereka menjuluki Paus Leo XIV sebagai “Paus Marxis yang Woke,” merujuk pada dukungannya terhadap agenda progresif Paus Fransiskus.

Di sisi lain, umat Katolik di Amerika Latin, terutama Peru, merayakan kemenangan ini. “Kami bangga. Ia pernah melayani kami di Chiclayo, dan kini ia memimpin gereja dunia,” kata seorang umat di Lima, Peru, kepada NPR. Paus Leo XIV sendiri, dalam pidato pertamanya, menyinggung warisan Paus Fransiskus: “Manusia membutuhkan Kristus sebagai jembatan menuju kasih Tuhan. Mari kita saling membantu membangun jembatan itu.”

Penutup

Pemilihan Paus Leo XIV menandai babak baru bagi Gereja Katolik. Dengan pengalaman misionaris dan dukungannya terhadap reformasi Paus Fransiskus. Ia diharapkan dapat melanjutkan misi gereja untuk menjadi suara bagi yang tertindas. Namun, Ia juga harus menavigasi tantangan internal dan eksternal yang kompleks. Apakah Paus Leo XIV mampu menjadi “jembatan” bagi gereja yang terpecah? Hanya waktu yang akan menjawab. Satu hal yang pasti yaitu dunia sedang menyaksikan sejarah baru dalam perjalanan panjang Gereja Katolik.

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Sambungkan Media Sosial

302PengikutMengikuti
2,430PelangganBerlangganan

Latest Articles