Surakarta atau yang lebih dikenal sebagai Solo, kembali menjadi perbincangan publik. Pada akhir April 2025, muncul usulan agar kota ini lepas dari Provinsi Jawa Tengah dan menjadi Daerah Istimewa Surakarta. Usulan ini tidak hanya didorong oleh sejarah panjang kota ini, tetapi juga oleh keinginan untuk mengakui kekayaan budaya dan peran historisnya. Usulan ini memicu diskusi luas, baik dari pemerintah, DPR, hingga masyarakat.
Alasan Surakarta Ingin Jadi Daerah Istimewa
Surakarta memiliki sejarah panjang yang menjadi dasar usulan ini. Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, Solo layak menyandang status istimewa karena peran historisnya dalam perlawanan terhadap penjajahan. Selain itu, Solo memiliki kekhasan budaya yang kuat, terutama dengan keberadaan Keraton Surakarta Hadiningrat, yang berdiri sejak 1745 sebagai penerus Kesultanan Mataram. Keraton ini tetap menjadi simbol budaya Jawa hingga kini, dengan Susuhunan Pakubuwana XIII sebagai raja saat ini.
Pengageng Sasana Wilapa Keraton Surakarta Hadiningrat, KPA Dany Nur Adiningrat, menambahkan bahwa status Daerah Istimewa Surakarta tidak hanya mengembalikan hak-hak keraton, tetapi juga menyangkut pengelolaan daerah dan asetnya. “Di era modern ini, hak-hak Keraton Kasunanan Surakarta dan Puro Mangkunegaran perlu dikembalikan. Ini akan membawa dampak luar biasa bagi masyarakat,” ujar Dany di Balai Kota Solo, Jumat (25/4/2025). Ia juga menegaskan bahwa wacana ini bukan hal baru, melainkan sudah dibahas sejak lama.
Secara geografis, usulan ini mencakup wilayah Solo Raya, yang meliputi Kota Surakarta dan enam kabupaten sekitar: Boyolali, Karanganyar, Klaten, Sragen, Sukoharjo, dan Wonogiri. Alasan lainnya adalah potensi pembangunan terintegrasi, seperti Bandara Internasional Adi Soemarmo, Jalan Tol Trans Jawa, dan pusat perdagangan yang ada di wilayah ini.
Siapa yang Mengusulkan Daerah Istimewa Surakarta?
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, pertama kali menyampaikan usulan ini pada 24 April 2025, usai rapat dengan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri. “Seperti daerah saya, Solo ingin mekar dari Jawa Tengah dan menjadi Daerah Istimewa Surakarta,” kata Aria di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Aria, yang berasal dari dapil Jateng V termasuk Solo, mendukung usulan ini dengan alasan historis dan budaya.
Namun, Aria juga menunjukkan sikap hati-hati. Ia menilai tidak ada urgensi mendesak untuk mewujudkan wacana ini. “Solo sudah menjadi kota dagang, pendidikan, dan industri. Tidak ada lagi yang perlu diistimewakan,” tambahnya. Sementara itu, tokoh masyarakat dan Keraton Surakarta turut mendorong usulan ini, dengan harapan dapat memperkuat identitas budaya dan otonomi daerah.
Sejarah Surakarta sebagai Daerah Istimewa
Surakarta memang memiliki jejak sejarah sebagai daerah istimewa. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 1945, Kesunanan Surakarta bergabung dengan Republik Indonesia dan menyandang status Daerah Istimewa Surakarta. Namun, status ini tidak bertahan lama. Pada 1946, pemerintah Indonesia membekukan status tersebut dan menjadikan Surakarta sebagai Karesidenan yang bersifat khusus. Keputusan ini dipengaruhi oleh gerakan anti-swapraja, yang menolak politik dinasti, serta dinamika internal antara Pakubuwono dan Mangkunegara yang enggan berkompromi soal kepemimpinan.
Sejarah kelam ini menjadi latar belakang wacana saat ini. Menurut utusan Keraton Surakarta, status istimewa perlu dikembalikan untuk mengembalikan hak-hak historis dan memperkuat identitas budaya Solo. Namun, sebagian pihak mempertanyakan relevansi wacana ini di era modern, mengingat Solo sudah berkembang pesat sebagai kota metropolitan.
Respons Pemerintah terhadap Usulan Ini
Pemerintah pusat menunjukkan sikap hati-hati. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian menyatakan akan melakukan kajian mendalam terkait kriteria Surakarta sebagai daerah istimewa. “Apa alasannya nanti daerah istimewa,” ujar Tito di Jakarta, Jumat (25/4/2025). Ia menegaskan bahwa status daerah istimewa berbeda dengan pemekaran wilayah biasa, yang moratoriumnya berlaku sejak 2014, dan membutuhkan perubahan undang-undang yang lebih kompleks.
Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamensesneg) Juri Ardiantoro menambahkan bahwa usulan ini baru sebatas aspirasi. “Komisi II DPR banyak menampung usulan serupa. Jadi, Kita tunggu saja,” katanya. Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan bahwa Istana tidak ingin gegabah. “Pemerintah harus mempertimbangkan banyak hal agar tidak menimbulkan ketidakadilan bagi daerah lain,” ujarnya.
Namun, tidak semua pihak setuju. Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Golkar, Ahmad Doli Kurnia, skeptis terhadap usulan ini. Menurutnya, status daerah istimewa hanya diberikan pada tingkat provinsi, bukan kota. “Tidak pernah ada istilah daerah istimewa di tingkat kabupaten atau kota,” tegas Doli. Ia juga khawatir usulan ini memicu kecemburuan daerah lain.
Bagaimana dengan Daerah Lain?
Usulan Surakarta bukan satu-satunya. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Akmal Malik, mencatat bahwa hingga April 2025, ada 341 usulan pemekaran daerah, termasuk 42 provinsi baru, 252 kabupaten, 36 kota, serta enam usulan daerah istimewa dan lima daerah otonomi khusus. Solo menjadi salah satu dari enam daerah yang mengusulkan status istimewa, bersama daerah lain yang belum dirinci.
Sebagai perbandingan, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyandang status istimewa karena peran historisnya sebagai ibu kota negara pada 1946. Aceh juga mendapatkan status serupa berkat kontribusi rakyatnya pada awal kemerdekaan, seperti sumbangan untuk pembelian pesawat Seulawah. Namun, Doli Kurnia mempertanyakan apakah alasan Solo cukup kuat. “Jika hanya karena ada kesultanan, banyak daerah lain juga bisa mengusulkan hal serupa,” katanya.
Penutup
Wacana ini masih dalam tahap awal. Wakil Wali Kota Solo, Astrid Widayani, mengaku belum membahas usulan ini secara mendalam. “Kami akan pelajari dan diskusikan dengan Wali Kota,” ujarnya pada 25 April 2025. Sementara itu, masyarakat Solo tampaknya terbagi. Sebagian mendukung dengan harapan memperkuat identitas budaya, tetapi ada pula yang mempertanyakan urgensinya, mengingat Solo sudah maju sebagai pusat perdagangan dan pendidikan.
Akankah Surakarta kembali menyandang status Daerah Istimewa? Prosesnya masih panjang, dengan kajian mendalam dari pemerintah dan DPR. Yang jelas, wacana ini membuka kembali diskusi tentang otonomi daerah dan keadilan antarwilayah di Indonesia.